Tahun baru 2014 sudah
memasuki bulan pertama di minggu keempat. Tepatnya tanggal 24 Januari, hari
kamis, saya diajak oleh saudara untuk berlibur sekaligus mencoba belajar
bercocok tanam disebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk modern. Tepatnya adalah
di Desa Kalijering, Kecamatan Padureso, Kebumen, Jawa Tengah. Di Kecamatan
tersebut terdapat 9 desa atau dusun yang jarak antar dusun hanya dibatas oleh
jembatan kali kecil, dan itu tidak ada tulisan atau petunjuknya. Ketika saya
sudah di Padureso menuju desa Kalijering, yang ada dikepala saya adalah sebuah
desa yang memiliki akses jalanan yang baik dan telah ada lampu penerangan yang
memadai. Namun itu semua terbantahkan ketika saya melihat langsung, dimana
akses menuju kalijering itu sangat sulit, jalannya masih beralaskan tanah
merah, belum dibeton, dan kanan kiri jurang. Memang bila dibandingkan dengan
desa lain, Kalijering merupakan desa yang tertinggal. Masyarakat disana sangat
belum bisa menikmati akses jalan dan lampu penerangan yang memadai. Pancang
tiang listrik pun baru dipasang 2 bulan yang lalu berbarengan dengan pelebaran
jalan. Ini menunjukan bahwa desa tersebut masih sangat jauh dari kata
modern. Di Jumat sore kami tiba di
Kalijering, kami semua menurukan barang bawaan dari mobil untuk segera
dimasukan ke dalam rumah, tak terkecuali motor Yamaha YT yang baru saja dibeli
di Jakarta untuk inventaris berkebun.
Waktu menunjukan pukul
19.00 WIB, kami semua berkumpul di ruang tengah selepas mandi, salat magribh dan
makan. Saya ikut berbincang dengan saudara-saudara disana sekalipun kadang saya
kurang mengerti bahasanya, maklum mereka menyelipkan bahasa jawa dengan paduan
bahasa Indonesia yang tetap berlogat jawa. Saya pun memperhatikan sekelilingnya
termasuk jendela yang langsung mengarah keluar jalan begitu gelap gulita tanpa
ada penerangan. Kondisi gelap dijalan sudah terbiasa bagi warga setempat,
paling kalau pun mau keluar menggunakan obor atau senter, begitu kata Lek
Darso, (Om-nya Yudi). Akhirnya kami semua bergegas untuk beristirahat mengingat
perjalanan dari Jakarta sangat melelahkan terutama bagi supir (Mas Yudi). Malam
itu merupakan pengalaman pertama saya tidur disebuah desa tertinggal. Saya
tidur diluar bukan dikamar. Saya tidur bersama Mas Yudi (Sepupu) dan om Mudi
dengan mengggunakan kasur yang diambil dari dalam kamar. Sedangkan Bapaknya Mas
Yudi tidur di kamar. Hari semakin larut dan cuaca semakin dingin, begitulah
yang saya rasakan ketika berada di atas bukit desa Kalijering. Bunyi suara jangkrik
menemani kesunyian malam ini dengan ditemani separangkat smartphone untuk
mencoba menengahi rasa bosan, tak lama kemudian mata terlelap dimulai dengan
bait doa agar tidur ini bernilai ibadah. Akhirnya mata ini terbangun, cuaca
pagi ini hujan rintik-rinting dan sangat terasa dingin menusuk ke kulit tapi
itu tidak mempengaruhi aktivitas dihari sabtu pagi ini. Hari ini rencananya
akan ada pemasangan parabola mengingat kami membawa TV dan asesoris parabola
dari Jakarta. Siang harinya saya mencoba melihat kebun yang ada dibelakang
rumah yang luasanya kurang lebih setengah hektar. Memang kondisi jalan menuju
kebun sangat becek dikarenakan turunnya hujan, tapi tak mengurungkan niat saya
untuk kesana. Saya sudah menyiapkan sepatu
boot jadi tidak terasa licin namun masih tetap licin sedikit. Hari demi hari
saya lalui di kampung Kalijering, mulai dari menanam tanaman hingga jalan-jalan
mengililingi kampung tetangga Kalijering, Kaligubuk dan itu semua saya nikmati
sebagai pengalaman baru tinggal di hunian tradisional. Akhirnya saya
benar-benar terjun langsung dalam proses demi proses kegiatan di desa
Kalijering. Mulai dari melihat gimana caranya membuat gubuk disorong (diatas
batu besar) dan menanam bibit pohon.
Tiba saatnya dihari
senin[1],
dimana hari itu kami berencana membuat gubung disorong (diatas batu besar). Maksud
dan tujuan dibuatnya gubuk adalah untuk tempat beristirahat setelah menamam
bibit atau memberi pupuk, dan tak kalah pentingnya adalah untuk melihat
keindahan alam bumi Indonesia. Adapun perlengkapan
untuk membuat gubuk diantaranya: kayu pohon jati, daun pisang yang sudah
dianyam dan pastinya paku dengan berbagai ukuruan. Pengerjaan gubuk ini memakan
satu harian. Tidak terasa akhirnya jam menunjukan pukul 16.00 WIB dan itu
bertanda pengerjaan gubuk ini pun telah selesai. Kami akhirnya bisa duduk-duduk
santai digubuk sambil menantap pohon demi pohon yang ada. Hari semakin gelap
dan langit pun tak menampakan cahayanya. Kami semua akhirnya menuju rumah untuk
bersih-bersih, sekaligus menyiapkan santapan makan malam. Tema makan malam kali
ini adalah mie instan plus nasi, seperti layaknya anak kosan tapi itulah adanya
harus disukuri.
Hari demi hari saya lalui di desa kalijering
dengan rasa senang, terlebih saya merasakan ilmu baru yaitu menanam bibit Pohon
Duren, Pohon Mohoni, Pohon Jati dan juga saya belajar memupuk tanaman dengan
mengggunakan cemendil (pupuk kotoran kambing). Tak hanya itu saya pun belajar
mencangkul walaupun tidak semahir orang-orang dikampung. Ada sesuatu yang agak unik dan mengerikan
bagi saya, yaitu ternyata dirumah yang saya tempatin itu banyak berkumpulnya
tikus-tikus dan yang lebih mengerikan lagi, saya dan mas yudi melihat ular
diatap. Memang rumah ini belum seperti rumah modern pada umumnya yang atapnya
menggunakan triplek atau sejenisnya. Ini pengalaman saya yang cukup mengerikan
ketika berada disebuah desa yang jauh dari kota besar. Saya sering menjumpai
ular dan itu sangat menakutkan, namun kalau kita tidak mengganggu maka binatang
itu tidak akan menyerang begitu penjelasan Mas Yudi kepada saya. Penjelasan Mas
Yudi tidak serta merta membuat saya berani, rasa takut pasti ada itulah
manusia. Namun saya hanya bisa berdoa kepada Allah agar saya selalu dilindungin
dalam setiap langkah kaki ini. Suatu hari saya pernah ngobrol iseng bersama Lek
Darso. Pembicaraan kita mengarah pada pemilu 2014. Saya mencoba menanyakan ke beliau,
“kira-kira pemilu besok pilih siapa lek”, begitulah pertanyaan iseng saya.
Kemudian si Lek menjawab, dia bilang kalo ada yang ngasih duit saya akan pilih
dia. Dari hasil wawacara sambil lalu saya kepada Lek Darso, menyimpulkan bahwa
masyarakat disana masih bisa diperalat oleh uang semata. Tapi itu bagian
realita bangsa Indonesia yang lagi belajar berdemokrasi. Tidak bisa disalahkan
juga Lek Darso berbicara seperti itu, ia beranggapan bahwa ia butuh uang dan
bangsa ini belum bisa mencukupi uang untuk beliau hidup.
Ada hal lain yang unik
di kampung tersebut, dimana ketika seseorang memiliki sebuah kendaraan sepada
motor maka ada kegiatan mendoa atau selamat yang ditutup dengan jamuan makan. Memang
maksud dan tujuannya baik yakni bersukur atas karunia memiliki kendaraan baru
dan tradisi itu masih terus ada disana. Di setiap pagi saya selalu melihat
warga membawa parit[2]
dan karung untuk mengambil daun-daunan guna memberi makan ternak mereka. Warga disana
sudah sangat terbiasa sekali berkebun, dimata mereka berkebun itu adalah
kegiatan yang harus wajib dilakukan dan sudah turun menurun mereka lakukan. Bila
dibandingkan dengan masyarakat kota sangatlah berbeda. Orang kota setiap pagi
ke kantor menggunakan pakaian rapi selayaknya bos dan tiap bulannya mendapatkan
uang atau gaji, namun berbeda dengan orang desa. Ia berkebun dengan pakaian
sedikit kumuh namun tetap bersih dan yang terpenting ketika sore tiba mereka
dapatkan daun-daunan yang cukup untuk kebutuhan ternak.
Demikian secuail cerita
saya berada disebuah desa tertinggal, desa Kalijering. Ada ilmu yang saya dapatkan
ketika kembali lagi ke kota besar yakni mereka menjalani hidup itu tulus apa
adanya, tidak mengeluh dan pasti bekerja keras. Mereka tidak menggunakan metode
pencitraan seperti para politikus yang menggunakan mengharapkan pujian atau
imbalan.