Kamis, 27 Februari 2014

Perjalanan Kota Ke Desa Tertinggal (Kalijering)


Tahun baru 2014 sudah memasuki bulan pertama di minggu keempat. Tepatnya tanggal 24 Januari, hari kamis, saya diajak oleh saudara untuk berlibur sekaligus mencoba belajar bercocok tanam disebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk modern. Tepatnya adalah di Desa Kalijering, Kecamatan Padureso, Kebumen, Jawa Tengah. Di Kecamatan tersebut terdapat 9 desa atau dusun yang jarak antar dusun hanya dibatas oleh jembatan kali kecil, dan itu tidak ada tulisan atau petunjuknya. Ketika saya sudah di Padureso menuju desa Kalijering, yang ada dikepala saya adalah sebuah desa yang memiliki akses jalanan yang baik dan telah ada lampu penerangan yang memadai. Namun itu semua terbantahkan ketika saya melihat langsung, dimana akses menuju kalijering itu sangat sulit, jalannya masih beralaskan tanah merah, belum dibeton, dan kanan kiri jurang. Memang bila dibandingkan dengan desa lain, Kalijering merupakan desa yang tertinggal. Masyarakat disana sangat belum bisa menikmati akses jalan dan lampu penerangan yang memadai. Pancang tiang listrik pun baru dipasang 2 bulan yang lalu berbarengan dengan pelebaran jalan. Ini menunjukan bahwa desa tersebut masih sangat jauh dari kata modern.  Di Jumat sore kami tiba di Kalijering, kami semua menurukan barang bawaan dari mobil untuk segera dimasukan ke dalam rumah, tak terkecuali motor Yamaha YT yang baru saja dibeli di Jakarta untuk inventaris berkebun.

Waktu menunjukan pukul 19.00 WIB, kami semua berkumpul di ruang tengah selepas mandi, salat magribh dan makan. Saya ikut berbincang dengan saudara-saudara disana sekalipun kadang saya kurang mengerti bahasanya, maklum mereka menyelipkan bahasa jawa dengan paduan bahasa Indonesia yang tetap berlogat jawa. Saya pun memperhatikan sekelilingnya termasuk jendela yang langsung mengarah keluar jalan begitu gelap gulita tanpa ada penerangan. Kondisi gelap dijalan sudah terbiasa bagi warga setempat, paling kalau pun mau keluar menggunakan obor atau senter, begitu kata Lek Darso, (Om-nya Yudi). Akhirnya kami semua bergegas untuk beristirahat mengingat perjalanan dari Jakarta sangat melelahkan terutama bagi supir (Mas Yudi). Malam itu merupakan pengalaman pertama saya tidur disebuah desa tertinggal. Saya tidur diluar bukan dikamar. Saya tidur bersama Mas Yudi (Sepupu) dan om Mudi dengan mengggunakan kasur yang diambil dari dalam kamar. Sedangkan Bapaknya Mas Yudi tidur di kamar. Hari semakin larut dan cuaca semakin dingin, begitulah yang saya rasakan ketika berada di atas bukit desa Kalijering. Bunyi suara jangkrik menemani kesunyian malam ini dengan ditemani separangkat smartphone untuk mencoba menengahi rasa bosan, tak lama kemudian mata terlelap dimulai dengan bait doa agar tidur ini bernilai ibadah. Akhirnya mata ini terbangun, cuaca pagi ini hujan rintik-rinting dan sangat terasa dingin menusuk ke kulit tapi itu tidak mempengaruhi aktivitas dihari sabtu pagi ini. Hari ini rencananya akan ada pemasangan parabola mengingat kami membawa TV dan asesoris parabola dari Jakarta. Siang harinya saya mencoba melihat kebun yang ada dibelakang rumah yang luasanya kurang lebih setengah hektar. Memang kondisi jalan menuju kebun sangat becek dikarenakan turunnya hujan, tapi tak mengurungkan niat saya untuk kesana. Saya  sudah menyiapkan sepatu boot jadi tidak terasa licin namun masih tetap licin sedikit. Hari demi hari saya lalui di kampung Kalijering, mulai dari menanam tanaman hingga jalan-jalan mengililingi kampung tetangga Kalijering, Kaligubuk dan itu semua saya nikmati sebagai pengalaman baru tinggal di hunian tradisional. Akhirnya saya benar-benar terjun langsung dalam proses demi proses kegiatan di desa Kalijering. Mulai dari melihat gimana caranya membuat gubuk disorong (diatas batu besar) dan menanam bibit pohon.

Tiba saatnya dihari senin[1], dimana hari itu kami berencana membuat gubung disorong (diatas batu besar). Maksud dan tujuan dibuatnya gubuk adalah untuk tempat beristirahat setelah menamam bibit atau memberi pupuk, dan tak kalah pentingnya adalah untuk melihat keindahan alam bumi Indonesia. Adapun  perlengkapan untuk membuat gubuk diantaranya: kayu pohon jati, daun pisang yang sudah dianyam dan pastinya paku dengan berbagai ukuruan. Pengerjaan gubuk ini memakan satu harian. Tidak terasa akhirnya jam menunjukan pukul 16.00 WIB dan itu bertanda pengerjaan gubuk ini pun telah selesai. Kami akhirnya bisa duduk-duduk santai digubuk sambil menantap pohon demi pohon yang ada. Hari semakin gelap dan langit pun tak menampakan cahayanya. Kami semua akhirnya menuju rumah untuk bersih-bersih, sekaligus menyiapkan santapan makan malam. Tema makan malam kali ini adalah mie instan plus nasi, seperti layaknya anak kosan tapi itulah adanya harus disukuri.

 Hari demi hari saya lalui di desa kalijering dengan rasa senang, terlebih saya merasakan ilmu baru yaitu menanam bibit Pohon Duren, Pohon Mohoni, Pohon Jati dan juga saya belajar memupuk tanaman dengan mengggunakan cemendil (pupuk kotoran kambing). Tak hanya itu saya pun belajar mencangkul walaupun tidak semahir orang-orang dikampung.  Ada sesuatu yang agak unik dan mengerikan bagi saya, yaitu ternyata dirumah yang saya tempatin itu banyak berkumpulnya tikus-tikus dan yang lebih mengerikan lagi, saya dan mas yudi melihat ular diatap. Memang rumah ini belum seperti rumah modern pada umumnya yang atapnya menggunakan triplek atau sejenisnya. Ini pengalaman saya yang cukup mengerikan ketika berada disebuah desa yang jauh dari kota besar. Saya sering menjumpai ular dan itu sangat menakutkan, namun kalau kita tidak mengganggu maka binatang itu tidak akan menyerang begitu penjelasan Mas Yudi kepada saya. Penjelasan Mas Yudi tidak serta merta membuat saya berani, rasa takut pasti ada itulah manusia. Namun saya hanya bisa berdoa kepada Allah agar saya selalu dilindungin dalam setiap langkah kaki ini. Suatu hari saya pernah ngobrol iseng bersama Lek Darso. Pembicaraan kita mengarah pada pemilu 2014. Saya mencoba menanyakan ke beliau, “kira-kira pemilu besok pilih siapa lek”, begitulah pertanyaan iseng saya. Kemudian si Lek menjawab, dia bilang kalo ada yang ngasih duit saya akan pilih dia. Dari hasil wawacara sambil lalu saya kepada Lek Darso, menyimpulkan bahwa masyarakat disana masih bisa diperalat oleh uang semata. Tapi itu bagian realita bangsa Indonesia yang lagi belajar berdemokrasi. Tidak bisa disalahkan juga Lek Darso berbicara seperti itu, ia beranggapan bahwa ia butuh uang dan bangsa ini belum bisa mencukupi uang untuk beliau hidup.

Ada hal lain yang unik di kampung tersebut, dimana ketika seseorang memiliki sebuah kendaraan sepada motor maka ada kegiatan mendoa atau selamat yang ditutup dengan jamuan makan. Memang maksud dan tujuannya baik yakni bersukur atas karunia memiliki kendaraan baru dan tradisi itu masih terus ada disana. Di setiap pagi saya selalu melihat warga membawa parit[2] dan karung untuk mengambil daun-daunan guna memberi makan ternak mereka. Warga disana sudah sangat terbiasa sekali berkebun, dimata mereka berkebun itu adalah kegiatan yang harus wajib dilakukan dan sudah turun menurun mereka lakukan. Bila dibandingkan dengan masyarakat kota sangatlah berbeda. Orang kota setiap pagi ke kantor menggunakan pakaian rapi selayaknya bos dan tiap bulannya mendapatkan uang atau gaji, namun berbeda dengan orang desa. Ia berkebun dengan pakaian sedikit kumuh namun tetap bersih dan yang terpenting ketika sore tiba mereka dapatkan daun-daunan yang cukup untuk kebutuhan ternak.

Demikian secuail cerita saya berada disebuah desa tertinggal, desa Kalijering. Ada ilmu yang saya dapatkan ketika kembali lagi ke kota besar yakni mereka menjalani hidup itu tulus apa adanya, tidak mengeluh dan pasti bekerja keras. Mereka tidak menggunakan metode pencitraan seperti para politikus yang menggunakan mengharapkan pujian atau imbalan.




[1] 27 Januari 2014
[2] Sejenis Cerurit