Selasa, 18 Desember 2012

Kontestasi Lagu Dalam Budaya Industri

                             

Latar Belakang

Lagu merupakan sebuah media penyampaian yang bersifat abstrak, dan lagu pun bisa merubah struktur kehidupan individu menjadi lebih bermakna, serta bisa mengingat sebuah kenangan, bisa merubah dunia menjadi lebih damai, dan bisa juga menyatukan seluruh lapisan masyarakat. Dalam kesempatan kali ini penulis mencoba mengkaji fenomena lagu – lagu masa lalu yang kerap muncul disaat sekarang ini.  Tidak hanya itu, penulis pun mengamati beberapa dampak dari adanya lagu masa lalu yang dicoba diangkat kembali dengan aransement modern ataupun didalam peristiwa-peristiwa tertentu. Ada beberapa point yang akan ditelaah dalam tulisan ini. Pertama, mulai dari sejarah perkembangan lagu. Kedua, ruang lingkup lagu masa lalu yang kembali di arasnemen oleh musisi, atau penyanyi muda, kemudian lagu lama yang kerap hadir dibeberapa peristiwa atau moment tertentu sebagai soundtrack. Ketiga, manfaat  pencipta lagu bagi para musisi atau penyanyi yang mencoba membawakan lagu tersebut dan sebaliknya. Keempat, lalu hubungankan teori sosiologi kebudayaan yang relevan dengan fenomena kembalinya lagu- lagu masa lalu yang kerap muncul. Dan yang terakhir adalah kesimpulan penulisan.
Tulisan ini dibuat berdasarkan studi histories berdasarkan buku, jurnal, majalah, dan karya ilmiah. Tulisan ini merupakan tugas untuk Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Sosiologi Kebudayaan.

Sejarah Lagu

Pada awalnya lagu adalah sebuah mahakarya yang bisa dinikmati oleh setiap individu. Baik itu kelas menengah keatas, menengah, dan menengah kebawah. Karena pada dasarnya lagu adalah alat penghibur disaat kita senang, gembira, sedih, ataupun duka. Dahulu lagu hanya disajikan atau ditampilkan untuk para raja sebagai penghibur. Namun seiring berjalanya waktu, kini lagu tidak hanya disajikan atau ditampilkan untuk raja melainkan untuk semua kalangan masyarakat. Sudah ada pergeseran makna yang lebih luas. Tidak hanya itu, sekarang lagu bisa dijadikan sebagai alat komoditi atau adanya basis materil.[1]
Di zaman teknologi seperti saat sekarang, media lagu bisa digunakan sebagai nada dering handphone atau yang lebih dikenal dengan RBT ( ring back tone ). Inilah salah satu dampak dari modernisasi, sehingga diperkuat dengan perubahan sosial masyarakat. Banyak lagu-lagu anak negeri yang telah menggunakan media-media yang popular, sehingga terlihat adanya sebuah ajang kontestasi lagu-lagu tidak terkecuali lagu-lagu lama. Menurut Marx, sejarah adalah suatu proses penciptaan dan pemuasan, serta penciptaan ulang dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus[2]. Di era modern ini pula, penjualan musik secara digital telah mengalahkan penjualan secara fisik, situasi ini mengakibatkan RBT menjadi penentu popular tidaknya sebuah lagu[3]. Ada juga penjelasan ketika band yang fenomenal Peterpan bekerja sama oleh perusaahaan telokomunikasi terbesar di Malaysia. Di sini terlihat sekali bahwa peran pop budaya sangat terasa pada band asal Indonesia ini. Mengingat di tahun 2007, band ini lagi mendapatkan kepopulerannya sehingga bisa membius masyarakat Malaysia dan Indonesia. Di sini Peterpan sebagai perusahaan baru 'kekuatan ikon " dan itu merupakan bagian dari strategi pemasaran. Memang dalam hal ini konsumen sangat dimanja oleh perusahaan telokomunikasi ini dengan cara, bisa mendownload lagu-lagu peterpan di album “Taman Langit dan Bintang di Surga”.

Lagu Lama yang Kembali di Publikasi atau di Angkat Kembali

            Dalam kajian ini penulis mencoba mengamati beberapa lagu masa lalu yang kembali muncul. Di era industri musik yang telah maju saat ini, para musisi, artis, atau penyanyi mencoba melakukan eksistensinya dengan cara –cara popular, seperti membawakan lagu – lagu lama dengan nuasan kekinian. Namun ada pula dengan cara lain yaitu suatu penghormatan kepada musisi atau penyanyi senior dengan bertema “tribute to”. Tidak hanya itu ada lagu-lagu lama yang muncul di moment- moment tertentu.
            Penulis mencontohkan beberapa lagu lama yang coba dibawakan kembali oleh penyanyi oleh generasi sekarang. Seperti lagu ciptaan Keenan Nasution[4], yaitu nuansa bening yang dipopulerkan kembali oleh Vidi Aldiano dengan aransemen yang kekinian atau modern. Kemudian lagu dari band rock Indonesia”Goodblest” yang dibawain kembali oleh Ari Lasso, dengan judul Huma Di Atas Bukit. Dan masih banyak lagi para musisi yang membawakan lagu –lagu lama dengan arasenmen baru. Tidak hanya disitu, lagu-lagu lama Iwan Fals sering pula diperdengarkan dikala hegomoni pemilihan umum. Seperti salah satunya lagu “surat buat wakil rakyat”[5]. Lagu tersebut sangat popular dan melekat bila dihubungkan dengan nuasan politik. Tak ketinggal juga lagu yang hadir pada saat bencana alam yaitu lagu “Ebiet G.Ade” yang berjudul Untuk Kita Renungkan. Lagu tersebut hampir kita dengarkan dikala bangsa ini terkena musibah. Seperti contoh musibah gempa tsunami yang menghemparkan Aceh dan daerah Sumatra sekitarnya. Di stasiun Televisi seakan tak lupa menjual lagu Ebiet G.Ade, untuk mengingatkan kita akan kebesaran Sang Maha Pencipta. Memang fenomena munculnya lagu lama itu sangat menarik bila kita kaji, kenapa akhirnya bisa muncul kembali.
            Pop Budaya sering dimaksudkan untuk objek hiburan dan komoditas keuntungan. Namun ada kasus yang menjelaskan po budaya dirancang untuk membuat pernyataan politik, itulah yang terjadi pada beberapa musik Iwan Fals di tahun 1980-an sampai 1990-an. Hanya Iwan Fals yang berani mengemukakan pendapat politiknya lewat lagu –lagunya diera lampau. Tetapi dalam tiga dekade terakhir, lagu yang awalnya telah dimaksudkan untuk menjadi murni hiburan sering diakuisisi politik. Dalam lingkungan politik Indonesia hampir tidak membutuhkan penjelasan karena tidak mungkin seni dan budaya dibebaskan dari kontestasi politik dalam masyarakat luas.
            Ada pula fenomena lagu lama yang kembali muncul dengan nuansa religi yaitu band Gigi yang membuat album bertajuk “Raihlah Kemenangan (Repackage” di tahun 2005)[6]. Di album tersebut banyak lagu-lagu lama yang kembali diangkat dengan tema anak muda sekarang. Seperti lagu “Tuhan” karya Sam Bimbo. Tdak hanya itu, lagu ”Perdamain” hasil karya H. Abu Ali Haidar, yang dulu dipopulerkan dengan gaya musik gambus oleh kelompok qasidah dan kini diramu dengan gaya rock ultra modern oleh GIGI. Memeng ketika awal pemunculan album ini ada yang pro dan kontra. Mungkin nilai religinya agak sedikit hilang tapi itulah musik bahasa atau alat yang universal. Namun karena momentnya tepat pada bulan puasa, banyak sekali lagu-lagu lama yang bernafaskan agama, para musisi, penyanyi ataupun artis mengikuti budaya ngepop tersebut. Dan disinilah industri mencoba meraup keuntungan dari hegomoni tersebut.
            Tidak hanya lagu –lagu Indonesia saja yang di angkat (recycle), namun lagu barat atau luar negeri pun tak kalah fenomenal, seperti yang terjadi pada lagu “Mustafa” karya Queen. Yang kembali dipopulerkan oleh Ahmad Dhani dengan bandnya yaitu The Rock Indonesia ( triad ). Menurutnya banyak sekali lagu –lagu lama luar negeri yang bagus sehingga tidak ada salahnya merecycle lagu-lagu lawas terebut[7].  Lain hal dengan group St12 yang kembali mengangakat lagu lama yang bernuasa melayu yaitu lagu “Isabella” milik band Search asal Malaysia. ST12 merasa terhormat bisa membawakan lagu yang pernah tenar di era 80-an. Apalagi dengan kondisi hubungan diplomatik kedua negara yang sedang terganggu akhir-akhir ini[8]. Tak hanya itu, Peterpan yang notebenya band papan atas pun mencoba peruntunganya kembali dengan mengangkat lagu lama di album terahirnya yaitu lagu ciptaan Tito Sumarsono yang dulu pernah dibawakan oleh Chrisye dan Atiek CB yang berjudul “Kisah Cintaku”[9].
            Berikutnya adalah lagu dari Gomblo yang berjudul Madu dan Racun di tahun 1985, kembali dipopulerkan oleh J-Rocks saat sekarang ini. Bila dilihat arasenmennya, itu berubah 99% dengan tema rock yang lebih kental, temponya naik, dan pasti bikin jingkrak - jingkrak. Lalu lagu elfa's singer yang judulnya 'pesta', kembali diangkat oleh band Rocket Rockers yang genrenya pop punk. Mungkin yang cukup dikenal adalah ketika lagu duet Broery Marantika dengan Dewi Yull yang berjudul “Jangan Ada Dusta Di Antara kita” pernah ngehist di tahun 1990-an di aransemen oleh band Angkasa. Lalu-lagu lama yang cukup sukses, “Badai Pasti Berlalu” hasil garapan Eros Djarot dan Jockie Sorjoprayogo, yang dinyanyikan Chrisye pada tahun 1977. Sedangkan versi terbarunya yang dicoba dibuat ulang, justru kurang berhasil menyainginya, meski Chrisye bersama Erwin Gutawa mengemas kembali lewat album Millenium Badai Pasti Berlalu (Musica Studio’s/1999), dan juga Ari Lasso berserta kawan-kawan menyanyikan ulang dengan aransemen Andi Rianto (Sony BMG/2007).
Tidak hanya di Indonesia saja lagu lama yang di aransemen kembali, namun di luar negeri ada. Seperti lagu Phil Collins dengan A Groovy Kind of Love (Buster/1990) yang dahulu dipopulerkan Mindbanders (1966). Kemudian lagu King Of Pop (Michael Joseph Jackson) yaitu Beat it, yang dipopulerkan kembali oleh fall Out Boy featuring John Mayer di tahun 2007. Dan masih banyak lagi lagu-lagu lama yang di kemas secara baru oleh musisi atau penyanyi sekarang. Memang terkadang lagu recycle menjadi salah satu senjata pamungkas untuk membuat band atau penyanyi meraup kepopuleritasnya. Namun disisi lain, terkadang orang-orang juga berpikir bahwa ide me-recycle lagu tempo dulu itu membuat band atau penyanyi itu seakan-akan sudah kehabisan materi lagu. Tapi semuanya kembali lagi ke kita, tergantung bagaimana cara kita menikmati lagu recycle mereka semua.
Isu yang berkembang bahwa musik Indonesia mengalami degradasi yang cukup memprihatikan, karena musik yang notabenya adalah hasil karya seni yang tulus agak sedikit luntur. Banyak musisi atau penyanyi yang ikut-ikutan tren atau mengikuti budaya ngepop. Misalnya sekarang lagi ngepop atau lagu bertemakan cinta dengan nada-nada yang sedikit melayu kemudian para pelaku musik atau musisi mengikutinya tanpa melihat kualitas yang ada. Mereka hanya berorientasi pada materi semata dengan keuntungan yang banyak.

Adanya Konsep Pencitraan Lagu Lama

            Dalam kajian berikutnya penulis akan mengkaji beberapa lagu lama yang diangkat kembali. Yaitu konsep pencitraan lagu lama, artinya munculnya lagu-lagu lama yang bertitel “tribute to”. Memang konsep album “tribute to” bagi para musisi atau penyanyi sekarang adalah sebuah rasa penghormatan atau apresiasi bagi pembuat sejarah industri musik Indonesia.  Di antara lagu- lagu lama yang coba dikemas secara apik oleh musisi sekarang adalah album Erwin Gutawa yang berjudul Salute to Koes Plus/Saudara[10]. Di mana album Erwin Gutawa ini, ia mencoba mengajak musisi atau penyanyi sekarang berkolabarasi dengan tema orkestra. Tidak hanya album ini saja yang coba diangkat lagu-lagu lama ke era kini. Album berikutnya pun, Erwin Gutawa kembali mengangkat lagu- lagu lama yang beraliran rock, yaitu album berjudul "Rockestar”[11].  Konsep ini  bisa dibilang- unik dan untuk pertama kalinya hadir di Indonesia, sebuah sinergi yang membentuk rock epik yang symphonic sekaligus membuktikan keampuhan instrumentasi orkestra ketika beradaptasi di dalam musik rock. Adapula album tribute to Titik Puspa, yang salah satunya lagunya dibawakan kembali oleh band yang fenomenal yaitu Peterpan dengan judul “Kupu-Kupu Malam”.
Tak sampai disitu saja lagu-lagu lama itu diperdengarkan kembali. Seakan industri musik  mengkonstruksi bahwa lagu-lagu lama bisa diambil keuntungan dari segi bisnis.  Kini album-album yang berisi lagu –lagu lama seakan mengingatkan kita bahwa negeri ini memiliki anak bangsa yang kreatif dan inivatif. Dan terkecuali album ”tribute to Ian Antono” [12]. Di mana lagu-lagu lama karya Ian Antono kembali diperdengarkan dengan versi baru. Seperti judul lagu “Rumah Kita” yang dulunya pernah dibawakan oleh group rock Godbless. Kini dibawakan kembali dengan mengggandeng musisi atau penyanyi muda dengan gaya atau arasement yang baru. Seakan menghidupkan kembali musik rock yang telah mati suri karena tergurasnya musik industri yang selalu mendoninasi.
Di satu sisi, bagi penyanyi atau musisi yang membawakan lagu –lagu lama sekan bangga. Karena diberi kesempatan untuk mengekpresikan sebuah lagu lama dengan konsep baru. Tidak hanya itu, bagi penyanyi baru ini merupakan batu loncatan dengan cara meraup keuntungan membawakan lagu lama yang sempet menghilang. Mungkin dari segi kretifitas agak sedikit dipertanyakan, kenapa harus membawakan lagu lama/lawas untuk berdongkrak kepopuleran. Itulah pertanyaan yang sentimen yang diajukan bagi artis, penyanyi atau group band yang membawakan lagu-lagu lama tersebut.  

Hubungan Sosiologi Kebudayaan dengan Lagu Lama yang Muncul

            Lagu adalah sebuah perwujudan seni yang tercipta dari beberapa nada-nada, yang dikemas dengan balutan jiwa sehingga menghasilkan sebuah rasa yang harmonis. Di dalam lagu itu pula tersimpan sebuh ungkapan, isyarat, makna, pesan atau simbol. Yang mungkin diperuntukan bagi para penikmat lagu. Dalam hal ini nilai sosial budaya dipengaruhi oleh: Marxisme, psikoanalisa, dan sosiologi. Apalagi didalam sebuah lagu, ada formasi sosial yang didalamnya yaitu: alat produksi, kekuatan produksi, dan hubungan sosial produksi ( mood of product ). Mungkin kita akan mengkaji lebih dalam sosiologi kebudayaan  dengan adanya fenomena lagu-lagu lama yang kerap muncul kembali di saat sekarang.
            Di balik sebuah lagu itu tak terkecuali lagu lama, pasti ada nilai-nilai kapitalisme didalamnya. Pemilik modal atau dalam hal ini perusahaan rekaman ingin menciptakan sebuah keuntungan besar didalam arus industri musik. Fenomena munculnya lagu-lagu lama ke permukaan tidak lepas dari adanya basis material, yaitu adanya promosi, distibusi, dan konsumsi. Nilai-nilai tersebut harus berjalan beriringan agar sebuh produksi dalam hal ini lagu dapat terealisasi dengan baik. Kita bisa lihat bagaimana sebuah lagu lama bisa berhasil melejit kembali dengan adanya nilai basis material. Contoh kasus dimana pada awalnya orang tidak mengenal Vidi Aldiano. Namun sekarang ia cukup dikenal luas oleh masyarakat karena lagu lama yang berjudul “Nuansa Bening”. Memang berbeda bila kita mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Keenan Nasution, namun sang aranjer dalam hal ini Aminoto dan Tohpati memberi nuansa yang berbeda dari penyanyi aslinya. Dalam aransemen baru, Vidi Aldiano mencoba mengkemas dengan cara black music (menyelipkan rap). Alhasil lagu tersebut menjadi penikmat musik di tanah air. Di sini terlihat bagaimana sebuah lagu diproduksi dengan baik dan oleh para aranjer yang profesional didalam bidangnya.
Tidak hanya berhenti disitu, promosi demi promosi terus berjalan mulai dari pembuatan vidioklip, album, iklan, busana hingga sampai acara manggung. Setelah album atau lagu itu digarap maka langkah berikutnya distribusi. Yaitu tugas perusahaan rekaman mendistribusikan lagu-lagunnya ke berbagi toko kaset, radio dan bisa juga bekerja sama dengan provider telekomunikasi. Biasanya hasil kerja sama itu adanya kesepakatan Ring Back Tone (RBT). Yang merupakan salah pendapatan penyanyi atau pencipta lagu. Mengingat pembajakan yang sudah  merajalela. Kemudian konsumsi, disini bisa lihat sejauhmana lagu tersebut berhasil diterima atau tidak oleh masyarakat. Adanya konsumsi berarti kekuatan sebuah lagu itu terlihat.
Fenomena munculnya lagu lama yang kembali di aransemen merupakan pop budaya adalah demi mencari keuntungan besar. Apalagi industri musik kitalah yang berperan menciptakan pop budaya tersebut, karena dialah pemilik modal. Dalam hal ini musisi atau penyanyi yang mengaransem lagu lama di tuntut pula kreatifitasnya dalam melahirkan gagasan dan ide-ide yang berguna bagi pertumbuhan industri musik tanah air. Proses kreatif adalah perkembangan atau konsekuensi dari ide berpikir kritis untuk menyelamatkan dan menyempurnakan penampilan dari isi pikiran agar tidak menyusut dan berubah ketika menjadi produk. Ini merupakan sebuah terobosan bagi para penyanyi, musisi untuk kembali di kenal masyarakat dengan cara mengangkat lagu-lagu lama.
            Menurut Raymod Willeems, kebudayaan terbagi menjadi empat bagian: pertama, individual habbit. Kedua, pembangunan/intelektual masyarakat. Yang ketiga, seni, dan yang terakhir cara pandang hidup masyarakat. Dari penjelasan Raymon diatas, seni dalam hal ini seni musik merupakan nilai budaya yang melekat dengan suatu bangsa. Seperti pop budaya yang terjadi di Indonesia, lagu-lagu yang  feminisme lebih laku ketimbang maskulin. Itu terkonstruksi dengan situasi yang ada.
            Tapi bukan berarti lagu-lagu beraliran keras atau lirik-lirik selain cinta tidak diterima masyarakat. Contohnya saja Iwan Fals di era tahun 1980-an hingga 1990-an, dimana lagu-lagu bertema politik cukup diterima masyarakat walaupun membuat panas telingan pemerintah. Bila lagu-lagu yang tidak mengikuti mainstrem pop budaya niscaya akan tak akan bertahan lama. Lagu-lagu lama atau lawas memang memiliki keuntuangan sendiri, bila kembali hadir di dalam industri musik saat ini. Mungkin salah satunya adalah pengakuan atau eksistensi lagu lama tersebut yang tak lekang dimakan waktu.
            Kesenian adalah sebuah aset negara, salah satunya lagu yang merupakan alat penghibur bagi para penikmat. Lagu pun bisa menggiring kegiatan politik, contohnya ketika Pilpres tahun 2004. Di mana salah satu pasangan calon, Sby sering menyanyikan sebuah lagu disela-sela kampanye, maka ia ikut menjadi bagian dari pop budaya. Ketika itu ia ( Sby ) sering menyanyikan lagu dari ”Jambrut” yang berjudul ada ”pelangi dimatamu”.  Saat kini masyarakat telah digiring oleh pelaku industri untuk ngikuti pop budaya dengan cara menampilkan lagu-lagu yang kembali muncul dengan versi atau aransemen baru.
            Bila kita amati, lagu-lagu lama yang kembali muncul ke permukaan bersifat homogen, yaitu sama (ngepop). Dengan mendaur ulang lagu lama bisa pula membaikan situasi politik antar negara. Contoh ketika lagu yang berjudul ”Issbella” yang dimiliki oleh musisi Malaysia, di aransemen kembali oleh St 12. Seakan mendingan situasi politik kedua negara tersebut. Mulai dari kusus TKI yang di lakukan semena-mena oleh warga Malaysia, hingga perubatan kasus ambalat. Tidak hanya itu, Siti Nurhalizah yang notebenya adalah penyanyi Malaysia yang lagu-lagunya banyak disukai oleh masyarakat Indonesia, mengatakan bahwa musik itu adalah universal. Pop budaya telah membawa lagu-lagu lama ke tangga kepopularitas, sehingga menimbulkan kontestasi lagu-lagu lama yang kerap muncul ditengah industri, dan tidak mungkin berjalan tanpa ada hubungan basis material.

Kesimpulan
          Dalam kesimpulan kali ini penulis menyampaikan bahwa, lagu adalah sebuah media penyampaian yang didalam terdapat nada-nada sehingga menimbulkan kehormonisan. Lagu yang pada awalnya adalah sebagai wanaha menghibur para raja-raja, telah mengalami pergeseran makna yaitu bukan hanya raja saja yang bisa menikmati lagu tetapi masyarakat pada umumnya pun bisa dinikmati.
 Seirng berjalannya waktu, lagu bukan hanya bisa dinikmati dengan menonton pertujukan musik tetapi bisa dapat digunakan melalui media handphone dengan "ring back tone” (RBT). Dari penjelasan diatas mengenai fenomena lagu-lagu lama yang kerap muncul saat sekarang ini dipengaruhi adanya basis material yang terdiri dari; promosi, distribusi dan konsumsi[13]. Tiga elemen ini menentukan sebuh produksi lagu, tidak terkecuali lagu-lagu kini. Tidak hanya itu saja, pop budaya yang mengangakat lagu-lagu lama k era kini menimbulkan sebuah pergolakan di ranah industri musik tanah air. Seakan para pelaku industri tahu betul memainfaatkan pop budaya tersebut, walaupun ada pro kontra dalam penggarapan lagu-lagu lama ke versi baru. Misalnya, para musisi atau penyanyi sekarang telah kehabisan ide membuat lagu, oleh sebab itu mereka berupaya melakukan eksistensi dengan cara mendaur atau mengaransemen lagu-lagu lama dengan konsep kekinian. Banyak cara guna meraih simpati masyarakat yaitu dengan menggunakan lagu-lagu lama yang dikemas baru. Bila dilihat dari sudut pandang promosi, penyanyi  atau musisi bisa menggunakan media televisi untuk pemasaranya. Mengingat acara musik di layar kaca semakin banyak dan bervariasi. Akan tetapi menghilangkan peran distribusi didalamnya. Dengan begitu masyarakat mau mengkonsumsi lagu-lagu tersebut atas dasar tahu.  Masyarakat pun bisa digiring dengan kehadiran pop budaya yang pada dasarnya adalah pengikut trend.





                                    DAFTAR PUSTAKA
Giddens, Antony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern
Alfian. Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Budaya. Penerbit: Universita Indonesia.
Wijaya, Putu. Esai-Esai Budaya. Penerbit: Bentang Budaya.

Sumber lain:
Internet
Majalah Rolling Stone. Edisi 61 Mei 2010.
www. Detikmusik.com
Bahan kuliah Sosiologi Kebudayaa.
Tulisan Ariel Heryanto. Populer Cultur In Indonesia





[1] Menurut penjelasan marx, adanya promosi, distribusi, dan konsumsi dan dipertegas oleh penjelsan Pak Robertus Robert dalam kuliah Sosiologi Kebudayaan. 
[2] Penjelasan dari buku Antony Giddens yang berjudul Kapitaslisme dan Teori Sosial Modern.
[3] Berdasarkan sumber di majalah Rolling Stone, edisi 61 bulan Mei 2010.
[4] Lagu tersebut pertama kali di tahun 1978.
[5] Lagu ini ada di album Wakil Rakyat, di tahun 1987 oleh Perusahaan Rekaman Musica.
[6] Album ini berisikan 12 lagu.
[7] Hasil dari wawancara majalah Rolling Stone dengan  Ahmad Dhani di edisi 61 bulan Mei 2010. Menurut Dhani, kenapa harus mendengar lagu saya sedangkan banyak lagu diluar yang bagus. Tidak hanya itu, Dhani pun menyanyi lagu “madu tiga” karya P.Ramlee. Dan dia pun berkomentar, tidak menyanyikan lagu tersebut kecuali saya (Ahmad Dhani )dan pengarangnya (P.Ramlee)
[8] Di akses Okezone.com tanggal 17 Juli 2009
[9] Lagu tersebut dapat dinikmati di album Peterpan “Sebuah Nama Sebuah Cerita”. Sebelumnya lagu ini pernah di populerkan oleh Chrisye pada 1990-an dan diaransemen Yongkie Suwarno.
[10] Di album ini Erwin Gutawa mengaransemen 19 lagu, yang banyak dibantu oleh para musisi Indonesia dan album ini dirilis tahun 2004 oleh Perusahaan rekaman SONY ENTERTAIMENT INDONESIA.
[11] Di album ini Erwin Gutawa mengaransemen 13 lagu, yang banyak dibantu oleh para musisi Indonesia dan album ini rilis tahun 2006 oleh Perusahaan rekaman SONY BMG INDONESIA
[12] Berisi kumpulan lagu-lagu lama karya Ian Antono, yang berisi 12 lagu yang di arasement ulang oleh musisi sekarang dan album ini dirilis tahun 2004 oleh Perusahaan rekaman SONY BMG INDONESIA
[13] Mood of product: alat produksi, kekuatan produksi, dan hubungan sosial produksi.